Wednesday, September 28, 2011

Suatu Siang, Tahun ‘90an

(picture taken from here)


Hujan turun di siang itu. Deras. Kunikmati pemandangan itu dari balik jendela rumah nenek-kakekku, ada embun-embun menempel di kacanya, hingga rumah tetangga depan rumah terlihat bersemu keputihan. Pohon-pohon menari ditiup angin, ke kanan, ke kiri, kanan lagi, kiri lagi. Anak-anak lelaki bermain bola sambil bercanda, hal yang tidak pernah bisa kulakukan saat itu. Aku Cuma bisa iri melihat mereka, karena aku tidak pernah diijinkan untuk main hujan-hujanan.

Hujan masih turun, jreeessssss begitu kurang lebih suara yang terekam di ingatan. Tanteku (yang saat itu masih duduk di bangku smp) sibuk memasang baskom dan ember, menaruhnya di bawah titik-titik atap yang bocor. Kakekku berdiri tegap di teras rumah, diam memandang hujan, kedua tangannya bersedekap. Sepertinya sedang berdoa, memohon keselamatan, agar tidak terjadi musibah yang tidak diinginkan. Setidaknya itulah prasangkaku, tapi aku tidak pernah tahu pasti sedang apa sebenarnya kakekku.

Kemuadian, nenekku keluar dari dapur, membawakan sepiring singkong rebus yang dimasak dengan gula merah, dengan asap yang masih mengepul di setiap potongannya, yang ditaruhnya di atas meja tamu. Kami berkumpul di situ, kakek, nenek, aku, tante-tanteku, menikmati sajian dikala hujan. Enaaak banget rasanya, mungkin karena setiap orang mendapat jatah yang terbatas kali ya, jadi rasanya sesuatu banget, hehe.

Setelah itu, hal yang terjadi biasanya adalah aku tertidur pulas, sampe sore tiba dan hujan berlalu tanpa berpamitan padaku.



No comments:

Post a Comment